Sabtu, 23 Juli 2011

Kedudukan, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia

Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketata-negaraan kita disepakati pada tanggal 18 Agustus 2001 dalam Sidang Tahunan MPR 2001. Bersamaan dengan itu disepakati untuk menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Juga untuk membentuk Komisi Yudisial dan menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam pasangan secara langsung oleh rakyat. Dan yang amat fundamental adalah ditetapkannya bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Keputusan ini mengakhiri era sistem MPR di Indonesia. Dengan itu, secara sadar para anggota MPR memotong sendiri kekuasaan MPR yang tidak terbatas itu dan mendudukkan MPR di bawah supremasi hukum.

Pembahasan mengenai negara hukum sendiri telah diawali semenjak Sidang Umum MPR tahun 1999. Para anggota MPR, khususnya PAH I memahami bahwa penegasan Indonesia sebagai negara hukum akan membawa konsekuensi bahwa kita harus menghormati 3 prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law)

Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip itu adalah:
1.Adanya legalitas dalam arti hukum yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum
2.Adanya kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka
3.Adanya peradilan tata usaha negara
4.Adanya jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia

Dengan landasan demikian maka politik hukum Indonesia haruslah dikembangkan untuk mengisi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip itu.

Kami, PAH I, pada ST MPR 2000 pernah memperoleh tugas untuk melakukan legislative review atas berbagai undang-undang yang dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD. Tetapi kami risih untuk melakukannya, karena kami menyadari bahwa apabila MPR melakukan hal itu artinya peninjauan status dan materi hukum undang-undang itu akan kami lakukan melalui proses dan pertimbangan politik. Bisa-bisa konstelasi politik dengan platform masing-masing partai politik yang akan menentukan. Kami berpendapat proses menguji sebuah undang-undang harus dilakukan melalui proses hukum oleh sebuah badan yang kredibel dan diberi kewenangan oleh UUD untuk melakukannya. Diperlukan sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan konsistensi aturan perundang-undangan kita, yang berpucuk pada UUD dan diikuti taat asas oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Usulan tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) mulai konkret setelah rangkaian kunjungan kerja ke luar negeri, termasuk ke Jerman, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan, di mana kita belajar langsung dari pengalaman mereka. Kemudian PAH I juga menerima kunjungan dan bertukar pikiran dengan anggota Mahkamah Konstitusi dari Jerman, dari Thailand, dan juga dari Perancis.

Kasus Afrika Selatan, misalnya memberi pelajaran bahwa apabila MK berada di atas MA, maka dapat saja putusan kasasi dibatalkan oleh MK. Pada suatu kasus hukuman mati, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) hukuman mati pada terpidana pembunuhan dibatalkan oleh MK berdasar pada ketentuan HAM bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Kasus serupa juga terjadi dalam kasasi dalam pembatalan hak tanah seorang warga oleh MA yang dibatalkan oleh MK dengan alasan HAM. Kita tidak memperoleh gambaran itu dari literatur, tetapi memperolehnya dari diskusi langsung dengan para hakim konstitusi Afrika Selatan pada waktu kunjungan studi banding ke sana.

Itulah pertimbangan antara lain untuk menempatkan MK sejajar dengan MA dalam rumpun kekuasaan kehakiman. MA sebagai peradilan kasasi dengan hak uji atas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasi pemilihan umum. Selain itu, MK juga wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan / atau Wakil Presiden menurut UUD.

Kewenangan pertama yang diembankan kepada MK adalah kewenangan untuk menguji konstitusionalis undang-undang. UU adalah produk dari sebuah proses politik yang terjadi dalam interaksi internal DPR, maupun antara DPR dengan Presiden. Konstelasi politik tertentu akan memberi warna pada sebuah UU. Tidak tertutup kemungkinan suatu mayoritas politik tertentu mengakibatkan muatan UU itu tidak bersesuaian dengan makna dan prinsip yang dikandung UUD. MK berfungsi dan berwenang untuk meluruskannya. Dalam hubungan itu UU tentang MK nanti harus tegas menyatakan kewenangan MK untuk membatalkan UU yang diputusnya tidak sesuai dengan UUD. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam kewenangan ini adalah agar tidak ada pembatasan rentang waktu sampai kapan sebuah UU masih dapat diuji oleh MK. MK berhak melakukan uji atas setiap UU. Dalam diskusi mengenai hal ini, MK diposisikan pasif, tidak datang sendiri untuk menjumpai kasus, tetapi menerima pengaduan. Pengaturan mengenai pengaduan perlu diadakan, tetapi jangan membatasi hak instansi dan warga untuk meminta uji konstitusionalitas UU.

Perselisihan kewenangan antar lembaga negara yang dimaksud adalah antara lembaga-lembaga negara dalam rumpun kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yaitu antar Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, dan BPK. Tidak termasuk di dalamnya Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, dan Komisi Yudisial.

Dalam hal misalnya Presiden dan DPR berselisih pendapat tentang apakah Presiden memerlukan persetujuan DPR dalam penetapan harga saham BUMN yang harus dijual, Presiden dapat meminta keputusan dari MK. Atau dalam hal sebaliknya, DPR dapat meminta MK untuk memutuskan apakah untuk suatu perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas, termasuk mengharuskan revisi suatu UU, harus memerlukan persetujuan DPR.

Dalam hal perselisihan tentang hasil pemilu. Yang dimaksud bukan sekedar bila ada yang protes. Padanannya adalah peristiwa penetapan hasil pemilu 1999. Sebagian besar parpol PP anggota KPU - walau jumlah suara mereka tidak sampai sepertiga total suara pemilih nasional - menolak mengesahkan hasil pemilu, meskipun PPI, berdasarkan kewenangan yang ada padanya menurut UU Pemilu telah menetapkan masing-masing hasil Pemilu untuk Pusat, tingkat I dan tingkat II. Parpol peserta Pemilu yang tidak memperoleh  kursi meminta agar tiap-tiap parpol yang tidak menang dibagi masing-masing 1 kursi. Selaku Ketua PPI, saya menolak permintaan itu. Akhirnya laporan PPI diambil oleh Presiden dan Presiden mengumumkan hasil Pemilu secara menyeluruh.

Dalam konteks sekarang, kejadian itu akan sulit terulang, karena KPU independen. Namun bisa saja partai-partai pemegang saham mayoritas suara hasil Pemilu, misalnya bersepakat untuk keberatan atas hasil Pemilu. Akan terjadi sebuah krisis politik yang berat. Atau salah satu pasangan calon Presiden/Wakil Presiden pada putaran kedua merasa telah terjadi kecurangan dan masalah itu tidak dapat diatasi oleh Panwaslu. Dalam hal ini MK harus turun tangan dan memutus perselisihan itu serta menetapkan hasil yang sah. Jadi kewenangan MK dalam hal ini tidak mengenai hal-hal teknis pelaksanaan Pemilu karena masalah seperti itu termasuk wilayah Panwaslu, di samping oleh KPU sendiri.

Sebagai pemegang kewenangan untuk membubarkan partai politik, MK berfungsi sebagai pengadilan pertama dan terakhir. Proses tuntutan pembubaran didahului oleh proses sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU tentang Partai Politik, dan sebagainya.

Mengenai kewajiban MK untuk memutus apakah dakwaan DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7B UUD’45, MK menggelar sebuah peradilan yang sesungguhnya, lengkap dengan saksi dan pembuktian yang dianggap perlu. Dalam hal MK telah menetapkan bahwa Presiden/Wakil Presiden bersalah, terbuka kemungkinan MPR memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden/Wakil Presiden. Kemungkinan itu bukanlah penyimpangan hukum, karena hal itu diatur oleh hukum dasar, dan bukan diatur berdasarkan atas kewenangan yang ditetapkan MPR sendiri. Hal itu mungkin saja terjadi. Dakwaan DPR adalah dakwaan secara institusional. Bisa saja terjadi bahwa dakwaan DPR itu tidak terbukti sepenuhnya, sehingga walau Presiden/Wakil Presiden tetap diputuskan bersalah, ternyata kesalahannya lebih ringan dari yang didakwakan. Terhadap hal itu, anggota MPR, bak yang berasal dari DPR maupun dari DPD, dapat mengambil sikap baru. Apabila MPR terdiri atas lembaga DPR dan DPD, sikap lembaga tentunya tidak bisa berubah kecuali melalui rapat pleno lembaga, dalam hal ini DPR. Sekali lagi menjadi jelas kiranya bahwa MPR bukan sidang gabungan (joint session) antara lembaga DPR dan lembaga DPD, tetapi adalah sebuah lembaga negara dengan bentuk dan kewenangan tertentu. Mengingat tugas dan kewenangannya pengorganisasian MPR tentunya sesederhana mungkin, dimana pimpinannya dapat saja dirangkap oleh Ketua DPR dan DPD yang aktif bila ada sidang dan keperluan.

Jelas sekali terlihat bahwa MK adalah perangkat hukum untuk memutuskan perkara-perkara politik tingkat tinggi, yang pada umumnya selama ini berada dalam wilayah yang tidak jelas atau bahkan di tangan sebuah lembaga politik MPR.

MPR memutuskan bahwa anggota MK cukup terdiri atas 9 orang anggota yang harus memnuhi persyaratan yang amat tinggi, terutama yang menyangkut kredibilitas dan integritas. Dalam pandangan teman-teman mereka akan terdiri dari para senior-senior negarawan, yang telah mencapai suatu tingkatan pengabdian yang mengatasi kepentingan-kepentingan yang sempit. Di negara-negara tertentu lembaga seperti ini diisi oleh bekas Presiden, bekas Perdana Menteri atau tokoh-tokoh masyarakat lain. Kita memang memerlukan sebuah forum dimana para tokoh bangsa, apapun latar belakan politiknya, di masa depan akan selalu menjadi aset bangsa yang bernilai tinggi dan memberi kekayaan budaya bagi bangsa Indonesia.

Rekrutmen hakim konstitusi tergantung dari lembaga yang diberi kewenangan untuk memilihnya. Dalam hal 3 orang hakim yagn dipilih oleh DPR, maka proses pemilihan oleh DPR adalah sebagaimana layaknya oleh sebuah lembaga politik perwakilan rakyat.  Diperlukan proses yang partisipatif dan transparan. Sedangkan yang dipilih oleh Presiden dan Mahkamah Agung, masing-masing 3 orang, atas perintah UUD merupakan hak prerogatif dari lembaga-lembaga itu. Betapapun, karena MK bertanggung jawab kepada keadilan dan kebenaran yang berdasarkan kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa, dan bukan kepada lembaga yang memilihnya, persyaraan integritas dan kredibilitas menjadi amat penting. Walau demikian mereka, sebagai hakim juga diawasi tindak tanduknya oleh Komisi Yudisial yang berfungsi sebagai Dewan Kehormatan bagi para hakim. Dengan latar belakang Presiden, MA, dan DPR masing-masing sebagai pengusul anggota MK, ada suatu nuansa tersendiri yang membayangi kinerja anggota MK dalam sebuah keseimbangan jagad cilik kecabangan kekuasaan di Indonesia. MK memutus perselisihan kewenangan antar lembaga dan memutus sendiri perbedaan pendapat internal mereka.

Penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum memberi landasan yang kokoh untuk pembangunan hukum di Indonesia. Pasal 24 ayat (3) mengatakan: ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”, adalah rumusan untuk menampung perdebatan PAH I bahwa UUD perlu memberi landasan bagi terbentuknya sebuah sistem hukum yang terintegrasi (integrated judiciary system) di Indonesia. Tantangannya sekarang adalah agar kita bisa mengisinya dengan benar. Dalam hal ini akan amat besar peran integritas para pelaku bidang hukum, mulai dari para pengajar, para hakim, jaksa, polisi, dan para pengacara untuk menegakkannya. Tidak ada lagi alasan bahwa sistem menghalangi. Bila masih terjadi kelemahan, maka yang sepenuhnya bertanggungjawab sekarang adalah para pelaku hukum itu sendiri. Para politisi telah mengambil perannya.

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms